“Puncak rindu paling dahsyat itu ketika dua orang tak saling telp/sms/bbm
dll tapi diam-diam keduanya saling mendoakan”
- Sujiwo Tejo
Hati-hati sekali saya mencari kutipan
ini, karena saya ingat Sujiwo Tejo pernah bilang kalo mau ngutip dia harus sama
persis sampe ke titik komanya. Saking hati-hatinya, saya sampe ngebiarin ada
penggunaan elemen dll yang saya ga suka. Oya, FYI, Ryan Gosling dalam filmnya
The Nice Guys juga menyatakan ketidak sukannya pada elemen ini. Yup! Buat yang
belum tau, filmnya Ryan Gosling bukan cuma La La Land. Seandainya prinsip
kehati-hatian ini juga diterapkan sesama netizen dimanapun berada, niscaya,
laman facebook anda akan bebas hoax. Niscaya.
Facebook adalah benda menarik, sesuai
homepagenya, facebook benar-benar bisa membuat orang-orang stay connected. Bahkan, tanpa harus stalking kaya jaman nenek masih
remaja, dengan fitur baru yang gak baru-baru amat, kita sekarang bisa tau, benda-benda
yang teman kita suka dan komentari di facebook. Di sinilah kemudian menjadi
semakin menarik, dengan fitur ini, saya bisa lihat preferensi seseorang dari
kemunculan artikel yang muncul di lini masa saya yang muncul karena ada yang
nge-like. Dari yang kecintaannya pada suatu tokoh levelnya hardcore, sampe yang
mendadak sangat religius, keduanya meskipun cenderung saling berkontradiksi,
nyatanya punya satu kesamaan. Sama-sama suka terjebak di ruang nostalgia. Eh!
Hoax maksudnya. Haha. Garing ya. Bodo amat.
Bahas hoax mah bikin cape doang,
banyak tapi gak bikin puas kaya makan kuaci. Yang ada bibir jontor. Makanya,
kali ini saya mau fokus aja sama perkara teman yang mendadak sangat religius. Atau
terkesan sangat religius. Jujur aja, saya masih belum paham bedanya. Oya, kali
ini saya mau membahasnya dari sudut pandang Islam saja. Agama saya, yang saya
punya sedikit pemahaman atasnya.
Jika harus dibahasakan, pertanyaan
yang lagi sering saya tanyakan sebagai seorang muslim adalah, Apakah puncak
religiusitas itu terjadi ketika kita meyakini betul bahwa Islam adalah
satu-satunya jalan yang benar dan menjalani semua ajaran baik yang wajib maupun
yang Sunnah tanpa pertanyaan sedikitpun, atau ketika kita meyakini bahwa segala
sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan, termasuk semua perbedaan, dan religiusitas
itu adalah perkara hubungan seorang hamba dengan Tuhannya terlepas dari cara
menghamba/berTuhan itu sendiri.
Jika harus bergerak bersama opsi yang
pertama, maka saya harus menerima fakta bahwa akan banyak orang-orang baik dan
berjasa yang akan lanjut dibakar di neraka selamanya (Saya mau bilang berakhir di neraka, tapi itu kontradiktif dengan kata
selamanya). Yaa tentunya sebelumnya saya harus menerima dulu pernyataan bahwa
surga dan neraka itu ada. Ini sungguh menggelisahkan, terutama karena saya
meyakini betul bahwa Tuhan itu ada dan Dia seperti yang senantiasa saya ucapkan
dalam basmallah adalah Dzat yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Di sisi lain, rasanya juga tidak adil kalo
memikirkan bahwa semua orang terlepas dari perbuatannya, akan lanjut berada di
Surga, bayangkan orang tua yang membunuh anaknya, atau anak yang membunuh orang
tuanya, atau para pedophile yang
lanjut membunuh korbannya, atau yang paling dekat, para koruptor yang
keserakahannya secara tidak langsung merugikan orang banyak. Mari sejenak
lupakan mereka-mereka yang disangkakan penistaan agama, bukankah kategori
manusia-manusia yang sebelumnya saya sebutkan lebih membahayakan dan
menggelisahkan anda sebagai seorang manusia?
Di sinilah opsi kedua datang dan
memberikan semacam efek penenang. Ibarat makan maicih, opsi kedua bagaikan es
kelapa muda yang dicampur perasan jeruk nipis, gula, dan sedikit susu kental
manis. Sejuk dan tenang. Mempercayai bahwa Tuhan adalah yang Maha Berkehendak
dan semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya memiliki efek yang sama. Kalo
kalian lihat apa yang terjadi Syria, ingatlah bahwa Tuhan mengkehendakinya
untuk terjadi. Kalo kalian lihat apa yang terjadi pada kaum Rohingya, atau
berbagai hal menggelisahkan yang terjadi di Indonesia yang bikin kalian entah
mengelus dada, menggeleng-gelengkan kepala, atau sekedar menjadi gundah gulana,
ingatlah, bahwa Tuhan mengkehendakinya untuk terjadi.
Tuhan punya caranya sendiri, yang
kebanyakan dari kita gak akan bisa ngerti. Jalan terbaik bagi kita adalah
menerimanya tanpa perasaan benci. Yaa, walaupun kalo mau dipikir, benci juga datangnya
dari Tuhan yang mengkehendaki. Haha, lucu ga sih, kaya apapun yang kita lakukan
tuh sebenernya adalah kehendak Tuhan, kita gak punya control meskipun
seakan-akan kita punya control. Ibarat main game RPG, karakter bertarung,
makan, jalan, ngobrol, semua karena kita yang gerakin. Kalo nginget-nginget
malem-malem saya pengen martabak keju netto meskipun udah makan, yaa itu karena
Tuhan mengekehendaki saya untuk pengen makan martabak keju netto. Habis itu
Tuhan berkehendak saya merasa bersalah dengan perut yang semakin buncit lalu
membuat saya pengen ngeGym. Hahahahaha! Bercanda alam semesta memang tiada
duanya.
Okay, balik ke perkara teman yang
mendadak sangat religius. Salah satu indikasinya adalah mereka cenderung
nge-like dan nge-share berbagai postingan
beraroma Islami, yang anehnya, gak jarang bikin mengernyitkan dahi. Mungkin karena
level religiusitas saya masih newbie makanya
saya gak bisa ngerti, mungkin juga karena mereka yang kurang berpikir dan tipe
aliran like and share first, think later
or never. Wah yoi juga nih bisa jadi catch phrase.
Saya ambil contoh satu, pernah ada postingan yang menyamakan he-who-must-not-be-named dengan Umar Bin
Khatab. Saking herannya sama postingan ini,
dahi saya mengernyit sampe alis kiri dan kanan kaya hampir nempel. I mean why? Salah satu cerita Umar yang
paling saya ingat adalah ketika ia membawa karung berisi makanan dan pakaian
untuk diantarkan ke seorang Ibu miskin yang anak-anaknya sedang menangis
kelaparan, dan meskipun dia adalah pemimpin yang dikagumi banyak orang, dia
memilih untuk memanggulnya sendiri ke Ibu itu. Talking about responsibilities, modesty, and sacrifices. This is it. In
the meantime, he-who-must-not-be-named, ahh sudahlah~ kalian bisa baca-baca
sendiri. Anggap saja kita sama-sama tahu apa yang kita sama-sama tahu.
Ada juga yang baru-baru ini beredar, postingan terkait MUI yang seperti
sedang diperadukan dengan apa yang mereka sebut sebagi Rezim. Well, it’s not as agitating as the previous one, hanya saja, dalam
semangat mencari kebenaran hal ini membuat saya bertanya, memang kalo sudah
bertahun-tahun berdiri dan dihormati lantas jadi tidak mungkin salah? Kalo sudah
bertahun-tahun dihormati, lalu mendadak disoroti belakangan ini, apa lantas
yang menyoroti jadi yang salah? Apa tidak mungkin, justru karena baru
belakangan ini disoroti, ada hal-hal yang baru dilakukan belakangan ini yang
memang menggelisahkan?
Jujur saja, saya seperti kebanyakan
dari kalian tidak tahu jawabannya apa, tapi dalam perkara mencari kebenaran,
memeberikan pertanyaan yang tepat juga tak kalah pentingnya dengan mendapatkan
jawaban yang benar. Bagi saya, ketika ada sorotan seperti ini, yang terbaik
dilakukan adalah melakukan refleksi. Bukan malah ujug-ujug menyalahkan yang
menyoroti. Toh pada akhirnya kita semua adalah Manusia yang tidak luput dari
kesalahan. Ibarat mesin, ketika ada yang janggal dalam proses operasi, bukankah
yang terbaik adalah melakukan full
diagnostic run?
Okay, mari lanjut ke perkara terakhir
untuk kali ini. Tentang bagaimana usaha untuk menjalani apa yang diyakini
sebagai Syariat, justru malah tampil seakan-akan Islam itu seperti tidak bisa
menerima perbedaan. Atau yang dalam Bahasa yang lebih populer disebut sebagai
Intoleran. Dalam perspektif saya, bahkan ada beberap tindakan yang bisa
terkategori sebagai arogan. Now, semua orang harap tenang dulu. Izinkan saya
membahas sedikit perspektif saya ini.
Belum lama ini, saya membaca tulisan
tentang pelarangan festival kuliner Babi di kota Semarang. Bagi mereka yang
melakukan aksi ini, mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah usaha
menegakkan syariat. Which is fair, karena
memang Islam mengharamkan Babi. Tidak lantas juga bisa dibenarkan karena yang
menjadi target festival ini adalah non-muslim yang tidak mempercayai bahwa
makan Babi itu haram. Di sinilah Muslim yang memang adalah agama mayoritas di
Indonesia melakukan tindakan yang bisa dibilang terkategori Arogan. Prinsip
yang sama berlaku juga untuk aksi-aksi yang sudah hadir sebelumnya seperti
pelarangan atribut natal, pembubaran aktivitas agama, penghancuran patung, dan
bagi saya yang terparah adalah penurunan patung Budha.
Patut diingat bahwa perbedaan akan
selalu ada dan keberadaannya adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, saya tahu
bahwa semua aksi yang saya sebutkan tadi dilakukan atas keyakinan pada
kebenaran, tapi menjadi tidak benar karena kemudian memaksakan kebenaran
tersebut pada pihak lain yang meyakini kebenaran yang lain. Ketika suatu
kelompok sudah merasa paling benar, paling baik, dan unggul dibandingkan kaum
yang lain, apalagi didukung oleh jumlah yang mayoritas, maka berhati-hatilah
terhadap arogansi. Level arogansi seperti ini, bukankah juga sama dengan
arogansi yang dipercayai oleh supremacist
kulit putih?
Bagi saya, sebagai kaum mayoritas,
alih-alih mendiskriminasi yang minoritas, jauh lebih baik jika kita bisa
menaungi yang minoritas. Akan lebih baik lagi malah jika melupakan segala
perbedaan dan berpegang pada berbagai persamaan seperti sesama orang Indonesia,
sesama manusia, sama-sama bekas jajahan belanda, dan yang terpenting, sama-sama
makhluk ciptaan Tuhan.
Bagi saya, alih-alih memberangus
segala yang berpotensi melemahkan akidah, lebih baik berusaha untuk memperkuat
akidah, perbaiki diri sendiri sebaik mungkin, kalo Cuma ngeliat atribut natal
atau patung di bunderan udah bisa melemahkan akidah, maka pertanyakanalh
kekuatan akidahmu, dan perkuatlah sampe di titik dimana kamu ngeliat atribut
natal gak ada pengaruhnya sama seperti kaya kamu ngeliat Avanza. Perkuatlah akidahmu
sampe ketika kamu ngelihat perbedaan yang kamu lihat adalah kebesaran Tuhan,
kebesaran yang sama yang ciptain pelangi yang terdiri atas 7 warna yang
sebenernya semua adalah putih, kebesaran yang sama yang bikin laut diisi sama
ikan yang macem-macem bentuk dan warnanya.
Ibarat HP, dulu pas masih monochrome cuma
bisa main snake, sekarang warnanya udah sampe jutaan dan kalian bisa pake main
plants vs zombies! Isn’t it better? Ibarat ikan, jadilah seperti Hiu yang
menaungi ikan-ikan yang lebih kecil dan memberikan perasaan aman pada mereka. Instead of being the bully, be the big
brother who protects.
Hypocrite
adalah gelisah dengan kasarnya Ahok, tapi mentolerir kasarnya he-who-must-not-be-named ,
berlaku sebaliknya. Hypocrite adalah
gelisah dengan arogansi dan kerasnya those-who-must-not-be-named lewat sweeping-sweepingnya tapi mentolerir arogansi dan kerasnya Ahok lewat
penggusurannya, berlaku sebaliknya. Hypocrite adalah, gak terima dengan
arogansi pada kaum Muslimin di seluruh dunia yang menjadi Minoritas di negaranya,
tapi berlaku arogan pada kaum Minoritas di Indonesia sebagai Muslim yang
menjadi Mayoritas. Hypocrite adalah
tidak terima semua Muslim dicap teroris dan dimusuhin tapi mencap semua
non-Muslim sebagai Kafir dan ngemusuhin.
At
last, tulisan ini tidak dibuat untuk menghakimi kelompok manapun, apalagi
untuk menghakimi Islam sebagai suatu agama. My
love to Islam as my religion is real and may be as much as you who come to aksi
212, only our way of showing it is different. My way is to keep writing things
like this, I’m hoping to share the same spirit of love to those who reads this
open mindedly. I have a concern, lots
and lots of questions, by writing this I’m also hoping to get the answer or
simply discussion to enrich, if not straighten things that I believe for now.
My
name is Hendro Prasetyo, principal of Artdicted Studio. Here’s the thing guys,
as the Majority, instead of showing how powerful we can be, let’s show how
affectionate we can be. Daripada pamer kekuatan, lebih baik
berbagi kasih sayang. Percayalah, ga ada ruginya, kecuali bertepuk sebelah
tangan, kasih sayang niscaya akan berbuah kasih sayang balik. And when it’s not, just believe that it all
happens because God wants it so. And believe it, as an act of Love.