“ The hardest thing is to let go “
Clearly it’s a complete random stuff to begin a post with. Well, to me,
an ease-level-agrophobic-tremor who has just experienced the struggling life of
outbound such as walking on a cable, flying-fox, or swinging from about 9 meter
high on a rope, the one thing I learnt from is, in life, one of the hardest
thing is to let go.
Yeah, but that is not what this post is gonna be about.
Movie Review, sebuah obsesi yang semenjak dulu saya ingin lakukan dan
akhirnya kesampaian untuk pertama kalinya di post kali ini. Dan adalah The Amazing Spiderman 2, yang merupakan
film beruntung yang akan menjadi awal bagi karir review film saya.
“ The best Spiderman
film ever made. “
Yaa, sebuah statement yang saya rasa
sangat fair untuk mengawali review
film ini. Jelas Marc Webb jauh lebih berhasil mengemas Spiderman sebagai
tontonan yang menarik dan menyenangkan untuk ditonton ketimbang apa yang
dilakukan Sam Raimi pada trilogi sebelumnya. Di tangan Marc Webb, terkesan
seorang Spiderman yang lebih manusiawi, ketimbang sekedar seorang superhero
yang bisa mengeluarkan jaring laba-laba.
Di sequel ini, film langsung dimulai
dengan adegan action yang ciamik dengan visual yang cantik dimana sang
spiderman tampil akrobatik dengan jaring laba-laba sintetik-nya. Marc Webb juga
memasukan gimik humor yang tidak memaksa, seperti misalnya spiderman yang
menggunakan handphone dengan masih menggunakan kostumnya yang juga dilakukan
dalam prequel sebelumnya. Sebuah gimik yang sangat menarik buat saya, ketika
superhero lain seperti batman, ironman, dan kawan-kawan di the avengers telah
berevolusi secara luar biasa dalam berkomunikasi, si spiderman justru tampil
sangat manusiawi dengan handphonenya.
Film kemudian berlanjut dengan the origin of the electro, sang villain dalam sequel kali ini, yang
seperti layaknya film spiderman lain, dijelaskan secara detail asal
kemunculannya. The Electro kemudian muncul di kota, membuat kekacauan,
spiderman datang, mereka bertarung, dan lalu the Electro kalah secara epic
dengan disemprot oleh spiderman versi pemadam kebakaran.
Yang menarik dari scene ini adalah,
pemanfaatan setting Time Square yang
sangat pas menggambarkan cerita dan character
flaw dari The Electro, serta adegan pertarungan yang sangat jelas dengan
teknik CGI serta Slow Motion yang luar biasa amazing.
Sebuah cara menggambarkan
pertarungan terbaik yang pernah saya lihat diantara film-film superhero lainnya
yang ditampilkan tanpa membuat bosan dan menghilangkan efek terkesan meskipun
berulang kali dimunculkan hingga pertarungan final di akhir film.
Jelas dan tidak berlebihan. Tidak
seperti Transformers yang sangat sulit untuk dilihat karena banyak cipratan
api, oli, dan gear bertebaran, atau Man of Steel yang sekilas seperti pertarungan
di Dragon Ball dimana high speed punches yang
mampu mementalkan lawan hingga menembus dinding dan bebatuan dilibatkan.
Dengan kalahnya The Electro, film
kemudian masuk ke tahap dengan pace yang
jauh menurun, The Romance. Dalam tahap ini, Marc Webb memunculkan karakternya
sebagai seorang sutradara yang memang besar dari film drama romantis 500 Days
of Summer yang sarat akan adegan dan dialog yang ginyuk-ginyuk menggelitik berlatarkan soundtrack yang sangat mendukung suasana dan penggambaran cerita.
Yaa, dalam sequel kali ini, salah satu pujian juga pantas disematkan pada sang
sound director atas pemilihan soundtrack yang tepat disepanjang film.
Pujian lain tentunya juga layak
diberikan pada Emma Stone yang sukses membawa Gwen sebagai seorang wanita
cerdas yang sanggup mendampingi spidey dalam susah dan senang, serta Dane
DeHann yang membawa peran Harry Osborn to
the next level. Dibandingkan James Franco, Dane DeHann jelas lebih berhasil
memerankan Harry Osborn sebagai seorang villain
serta pewaris Oscorp yang picik, dan jelas luar biasa conflicted secara pikiran dan jiwa sebagai seorang individu.
I’m not gonna tell you what and how
the whole film goes, but as all superhero film, the hero always win at last. Ada
sebuah huge plot yang wajib diketahui
di sequel ini yang tentunya tidak akan saya sampaikan disini demi kebaikan
bersama. Yang pasti, saya sangat
merekomendasikan film ini untuk ditonton bahkan untuk kalian yang tidak terlalu
suka film superhero. Buat saya, dari skala 1-5, film ini layak untuk mendapatkan
poin 3.79 atau setara dengan level diantara “Fun~~” –nya Phil Dunphy dan
“Awesome”-nya Barney Stinson.
“ Let go : melepaskan, merelakan “
Dari sekian banyak aktivitas
outbound yang saya lakukan kemarin, salah satu yang paling sulit adalah ketika
saya harus mengayun dari setengah batang pohon besar pada seutas tali. Hal ini
sulit, karena untuk melakukannya dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk Let Go, atau melepaskan diri dan
merelakannya pada seutas tali dan satu set pengaman. Saya tidak terbayang
bagaimana perasaan seorang spiderman yang kehidupan superheronya sarat akan
mengayun dan bergelantungan pada jaring laba-labanya dari satu gedung ke gedung
lain.
Satu hal yang pasti, bahkan untuk
seorang Spiderman yang notabene seorang superhero yang ahli Let Go dalam konteks melepaskan, dalam film ini digambarkan bahwa, sebagai seorang yang pada dasarnya adalah
manusia, salah satu hal terberat dalam hidupnya, adalah Let Go dalam konteks merelakan.
No comments:
Post a Comment