Friday, May 16, 2014

The Amazing Spiderman 2

“ The hardest thing is to let go “

Clearly it’s a complete random stuff to begin a post with. Well, to me, an ease-level-agrophobic-tremor who has just experienced the struggling life of outbound such as walking on a cable, flying-fox, or swinging from about 9 meter high on a rope, the one thing I learnt from is, in life, one of the hardest thing is to let go.  
Yeah, but that is not what this post is gonna be about.

Movie Review, sebuah obsesi yang semenjak dulu saya ingin lakukan dan akhirnya kesampaian untuk pertama kalinya di post kali ini. Dan adalah The Amazing Spiderman 2, yang merupakan film beruntung yang akan menjadi awal bagi karir review film saya.

“ The best Spiderman film ever made. “

Yaa, sebuah statement yang saya rasa sangat fair untuk mengawali review film ini. Jelas Marc Webb jauh lebih berhasil mengemas Spiderman sebagai tontonan yang menarik dan menyenangkan untuk ditonton ketimbang apa yang dilakukan Sam Raimi pada trilogi sebelumnya. Di tangan Marc Webb, terkesan seorang Spiderman yang lebih manusiawi, ketimbang sekedar seorang superhero yang bisa mengeluarkan jaring laba-laba.

Di sequel ini, film langsung dimulai dengan adegan action yang ciamik dengan visual yang cantik dimana sang spiderman tampil akrobatik dengan jaring laba-laba sintetik-nya. Marc Webb juga memasukan gimik humor yang tidak memaksa, seperti misalnya spiderman yang menggunakan handphone dengan masih menggunakan kostumnya yang juga dilakukan dalam prequel sebelumnya. Sebuah gimik yang sangat menarik buat saya, ketika superhero lain seperti batman, ironman, dan kawan-kawan di the avengers telah berevolusi secara luar biasa dalam berkomunikasi, si spiderman justru tampil sangat manusiawi dengan handphonenya.

Film kemudian berlanjut dengan the origin of the electro, sang villain dalam sequel kali ini, yang seperti layaknya film spiderman lain, dijelaskan secara detail asal kemunculannya. The Electro kemudian muncul di kota, membuat kekacauan, spiderman datang, mereka bertarung, dan lalu the Electro kalah secara epic dengan disemprot oleh spiderman versi pemadam kebakaran.

Yang menarik dari scene ini adalah, pemanfaatan setting Time Square yang sangat pas menggambarkan cerita dan character flaw dari The Electro, serta adegan pertarungan yang sangat jelas dengan teknik CGI serta Slow Motion yang luar biasa amazing.

Sebuah cara menggambarkan pertarungan terbaik yang pernah saya lihat diantara film-film superhero lainnya yang ditampilkan tanpa membuat bosan dan menghilangkan efek terkesan meskipun berulang kali dimunculkan hingga pertarungan final di akhir film.

Jelas dan tidak berlebihan. Tidak seperti Transformers yang sangat sulit untuk dilihat karena banyak cipratan api, oli, dan gear bertebaran, atau Man of Steel yang sekilas seperti pertarungan di Dragon Ball dimana high speed punches yang mampu mementalkan lawan hingga menembus dinding dan bebatuan dilibatkan.

Dengan kalahnya The Electro, film kemudian masuk ke tahap dengan pace yang jauh menurun, The Romance. Dalam tahap ini, Marc Webb memunculkan karakternya sebagai seorang sutradara yang memang besar dari film drama romantis 500 Days of Summer yang sarat akan adegan dan dialog yang ginyuk-ginyuk menggelitik berlatarkan soundtrack yang sangat mendukung suasana dan penggambaran cerita. Yaa, dalam sequel kali ini, salah satu pujian juga pantas disematkan pada sang sound director atas pemilihan soundtrack yang tepat disepanjang film.

Pujian lain tentunya juga layak diberikan pada Emma Stone yang sukses membawa Gwen sebagai seorang wanita cerdas yang sanggup mendampingi spidey dalam susah dan senang, serta Dane DeHann yang membawa peran Harry Osborn to the next level. Dibandingkan James Franco, Dane DeHann jelas lebih berhasil memerankan Harry Osborn sebagai seorang villain serta pewaris Oscorp yang picik, dan jelas luar biasa conflicted secara pikiran dan jiwa sebagai seorang individu.

I’m not gonna tell you what and how the whole film goes, but as all superhero film, the hero always win at last. Ada sebuah huge plot yang wajib diketahui di sequel ini yang tentunya tidak akan saya sampaikan disini demi kebaikan bersama.  Yang pasti, saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton bahkan untuk kalian yang tidak terlalu suka film superhero. Buat saya, dari skala 1-5, film ini layak untuk mendapatkan poin 3.79 atau setara dengan level diantara “Fun~~” –nya Phil Dunphy dan “Awesome”-nya Barney Stinson.

“ Let go : melepaskan, merelakan “

Dari sekian banyak aktivitas outbound yang saya lakukan kemarin, salah satu yang paling sulit adalah ketika saya harus mengayun dari setengah batang pohon besar pada seutas tali. Hal ini sulit, karena untuk melakukannya dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk Let Go, atau melepaskan diri dan merelakannya pada seutas tali dan satu set pengaman. Saya tidak terbayang bagaimana perasaan seorang spiderman yang kehidupan superheronya sarat akan mengayun dan bergelantungan pada jaring laba-labanya dari satu gedung ke gedung lain.


Satu hal yang pasti, bahkan untuk seorang Spiderman yang notabene seorang superhero yang ahli Let Go dalam konteks melepaskan,  dalam film ini digambarkan bahwa, sebagai seorang yang pada dasarnya adalah manusia, salah satu hal terberat dalam hidupnya, adalah Let Go dalam konteks merelakan. 

No comments:

Post a Comment