Friday, January 31, 2014

Budaya Buaya eps.2 : Budaya Gagal Move-On

" Saya bukan orang yang apatis terhadap budaya. Saya hanya cukup kritis memilih mana yang budaya, mana yang kebiasaan. Mana yang harus dilakukan, diteruskan, dan dilestarikan, mana yang harus ditinggalkan "

- Hendro Prasetyo, 2014


as quoted from Budaya Buaya part.1, saya bukan apatis, hanya kritis. Dan kali ini bahasan saya mungkin akan dicela oleh para kaum konservatif (itu juga kalo mereka baca).

Budaya buaya, mungkin bukan judul yang paling tepat untuk bahasan kali ini, karena yang saya akan bahas, merupakan budaya asli sebagian kecil dan terpencil dari Indonesia yang menurut saya benar-benar harus segera ditinggalkan, karena ­­tergolong non-sense dan bisa dibilang primitif.

Seperti yang dulu suka ditampilkan di acara Ethnic Runaway salah satu TV swasta yang kini menjadi pionir acara joged-joged. Di Indonesia, masih banyak banget suku terpencil yang hidup jauh di dalam hutan, atau diatas dan diantara bukit. Sebutlah misalnya, suku Dayak, suku Asmat, suku Anak-Dalam, dan satu yang pernah saya kunjungi, masyarakat Kampung Naga.


Suku Asmat | sumber


Mereka adalah bagian dari Indonesia, tapi bukan bagian dari Indonesia. Kenapa ? karena mereka punya sistem kehidupan sendiri yang sama sekali berbeda dengan sistem kehidupan pada umumnya. Kalo, di Indonesia april nanti akan ada pemilu, mereka tentunya ga akan ikutan nyoblos. Yaa, jangankan ikutan pemilu, terdaftar dalam sensus penduduk saja rasanya tidak. 

Pakan, Sandang, Papan. Begitulah kebutuhan dasar hidup yang kita pelajari sewaktu SD. Karena hidup jauh di dalam hutan, tentu mereka hidup dengan cara sendiri, cara-cara yang berdasarkan apa yang saya tonton di acara ethnic runaway, masih tergolong primitif.

Untuk pemenuhan kebutuhan dasar Pakan, seperti yang kita pelajari dulu di kelas sejarah, salah satu ciri masyarakat primitif adalah hidup dengan cara Berburu dan Mengumpulkan, atau semaju-majunya, bercocok tanam. Dan hal ini masih dilakukan oleh suku-suku pedalaman tersebut. Bahkan ada isu, bahwa suku dayak tertentu juga melakukan Kanibalisme, yang tentunya akan sangat sulit dibuktikan, mengingat semua saksi hampir pasti juga merupakan korban dan sebagai korban tentunya mereka telah berubah menjadi makanan sehingga tidak bisa menyampaikan kesaksian.

Secara sandang, suku-suku tertentu masih sangat ketat memegang ajaran leluhurnya, sehingga mereka berpakaian layaknya masyarakat primitif. Yah, kalian tahulah pasti seperti apa yang saya maksud. Dalam kasus tertentu, ajaran leluhur mulai ditinggalkan, misalnya Suku Mentawai, yang “berpakaian” dengan cara mentato seluruh tubuhnya. Keturunan terakhir dari suku Mentawai kini tidak lagi mau mentato seluruh tubuhnya, dan lebih memilih menggunakan pakaian. Sebuah keputusan yang cukup tepat menurut saya, karena ini berarti mereka telah berpikir lebih maju dari senior-seniornya.

Terakhir, untuk kebutuhan tempat tinggal atau Papan, karena mereka hidup jauh didalam hutan, tentunya tempat tinggal mereka masih menggunakan bahan-bahan yang bisa mereka temukan di dalam hutan dan secara arsitektur, dibuat sesuai ajaran dari leluhur mereka.

Selain tiga hal itu, keprimitifan mereka juga ditunjukan secara kepercayaan karena masih menganut animisme dan dinamisme atau yang lebih dikenal sebagai kepercayaan terhadap roh nenek moyang.

Seperti yang saya bilang, bahasan saya kali ini mungkin akan dicela oleh kaum konservatif. Kenapa ? karena menurut saya, semua hal yang telah saya sebutkan diatas harus ditinggalkan ! menurut saya, seharusnya suku-suku pedalaman seperti itu di zaman seperti ini harusnya hanya bisa ditemui di museum, atau buku sejarah.

Pemerintah, cendekiawan, dan kaum rohanis harusnya mulai perlahan masuk kedalam dengan cara-cara yang bisa diterima masyarakat lokal, dan mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan perkembangan zaman. Anak-anak disana, seharusnya tidak dibiarkan berjalan-jalan di hutan, tapi masuk ke sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka yang tertinggal seharusnya diajak maju, sehingga bisa menysuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Kondisi mereka yang masih minim informasi, sesungguhnya merupakan hal yang baik. Karena ini artinya banyak hal yang masih bisa diajarkan kepada mereka. Kebenaran yang sebenarnya ! bukan kebenaran yang telah dibengkokan oleh masyarakat modern demi pemenuhan nafsu mereka.

Mereka masih bisa diajarkan Islam yang sebenarnya yang benar-benar berakar dari Al-Qur’an. Masih bisa diajarkan tata cara pembangunan yang baik dan tidak merusak alam. Pun begitu dengan keterampilan-keterampilan yang bisa mengembangkan diri mereka, serta berbagai hal secara sosio-emosional, sehingga mereka bisa menjadi masayaralat yang bukan hanya mengejar ketertinggalan dari masayarkat modern, tapi bahkan lebih maju dari masyarakat modern.

Lalu bagiamana dengan budaya mereka ? seperti yang saya bilang diawal, pilih yang mana yang budaya, yang mana yang kebiasaan, yang mana yang ditinggalkan, yang mana yang diteruskan dan dilestarikan.

Seperti misalnya, budaya mentato seluruh badan dari suku mentawai. Untuk apa dipertahankan ? apakah ada keuntungannya bagi kehidupan mereka ? apakah sehat secara medis ? apakah mengkhusyukan secara rohanis ? apakah baik secara sosio-emosional ? apakah menguntungkan secara komersial ? Apakah ini benar-benar budaya ? atau sekedar kebiasaan yang diturunkan secara turun temurun dari leluhur ? jika memang turunan darimana asalnya ?


Suku Mentawai | sumber

Sering saya dengar bahwa cerita turun temurun dari leluhur itu umumnya berasal dari mimpi atau wangsit yang diterima oleh pemimpin pertama kaum mereka, yang kemudian terus diajarkan kepada masyarakat dan keturunannya. Ingatlah bahwa setan akan senantiasa menyesatkan manusia dengan cara apapun. Pernahkah kalian terpikir bahwa wangsit adalah bisikan setan sehingga suatu kaum akan sesat secara turun temurun ?

Suku mentawai hanya salah satu contoh. Begitu banyak suku-suku pedalaman di Indonesia yang hidup dalam kesesatan. Itu karena mereka tidak terjangkau oleh para penjelajah dan misionaris pada jaman penyebaran agama dan kebudayaan. Mereka yang hidup jauh didalam hutan, masih tertutup dan bahkan menutup dirinya dari Informasi. Zaman sekarang sudah tidak akan ada lagi Nabi, jadi sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk mengajarkan kebenaran pada mereka yang belum tercerahkan.

Lebih maju dari masyarakat modern (yang tidak kalah sesat). Itulah target yang harus dikejar dalam usaha menyampaikan informasi bagi masyrakat di pedalaman. Akulturasi budaya asli, dengan cara hidup modern. Hasilnya pasti akan baik.

Mimpi belaka. Palsu. Dalam konteks inilah Budaya Buaya part.2 ini berkisar. Karena target pencapaian kemajuan budaya masyarkat suku pedalaman hingga lebih maju dari masyarakat modern nampaknya tidak akan pernah menjadi nyata.

Guru sejarah SMA saya pernah mengajarkan bahwa fakta sejarah menyatakan urutan berkembangnya masyarakat itu mulai dari Primitif, Kerajaan, baru Pemerintahan. Jika sekarang saja mereka belum sampai ke tahap kerajaan dan tidak ada usaha untuk memajukan dan mengembangkan diri, maka mungkin sampai tiba saatnya Isa kembali turun ke bumi nanti, mereka akan tetap pada keterbelakangan mereka.

Tulisan saya mungkin terlalu acak dan sulit dimengerti. Yah, kalian coba baca lagi saja jika belum mengerti. Haha. Pada akhirnya saya hanya mau bilang, Indonesia itu begitu luas. Punya ribuan budaya asli, dan masih saja diinfiltrasi budaya asing. Kalian harus bisa memilih mana yang ingin kalian ikuti dan teruskan ke anak-akan kalian. Mana yang budaya, mana yang kebiasaan. Save the Culture, Leave the Lifestyle !

4 comments:

  1. sebenernya disini aku ngerasa kamu terlalu subjektif bahkan hampir terdengar seperti misionaris islam, tapi aku ngerti inti dari maksud yang pengen kamu sampaikan.
    permasalahannya tuh darimana kamu berpikir bahwa kita yang udah hidup dengan memenuhi kebutuhan hidrogren dalam tubuh dengan minuman kemasan yang di beli dari indomaret merasa bahwa kita lebih bijak, atau bahkan kita dengan sistem kepemimpinan demokrasi-topeng-liberal-topeng-feodal merasa lebih pantas menjalankan sistem kemasyarakatan dibanding mereka yang masih hidup dalam kesejahteraan bersama. budaya kota yang kita anggap modern, yang kata orang sudah tidak primitif menurutku tidak punya hak untuk menjelek-jelekkan secara sepihak mereka yang (kita anggap) tertinggal. walau sungai pamali kampung naga terdengar terlalu superstitious dan tidak masuk akal, bukan berarti kita yang sistem hidrologi kota di eksploitasi semena-mena (bahkan oleh pembangunan para akademisi arsitek macam kita) yang menimbulkan banjir dimana-mana menjadi masyarakat yang lebih bijak. aku setuju pendidikan itu nomer satu, tapi kenetralan sudut pandang lah yang harus dijunjung tinggi. semenjak kita merasa kita lebih baik semenjak itu pula kita buta atas apa yang memang baik,

    serius deh hen, seperti saranku dulu itu, kamu harus jalan-jalan.
    sayang kalo pemikiran kritismu itu cuma jadi alat para fundamentalis yang merasa kaumnya yang paling benar

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu dia jak. sesungguhnya gw anti kebudayaan modern dan kebudayaan klasik. yang satu sesat karena terlalu komersil. yang satu non-sense.

      dan Indonesia sekarang gak punya karakter. kaya apa sih yang Indonesia tuh ? sistem pemerintahan kita yang demokrasi pancasila jelas bullshit banget. budaya timur yang ramah-tamah ? dimananya ? ini repotnya negara kepulauan. semua udah punya budaya yang berkembang sendiri. karena emang kondisi yang dihadapin juga beda-beda.

      gw yakin orang jaman dulu punya banyak nilai-nilai kehidupan yang baik. nah itulah yang harus diangkat dan dipertahankan jadi bisa dipake sebagai budaya hidup Indonesia. (kaya jepang yang meninggalkan cara hidup samurai tapi mempertahankan ajaran bushido.) sedangkan hal-hal yang sifatya superstitious dan non-sense yaa ditinggalin aja.

      gw juga mau jak jalan-jalan. tapi kan ga semudah itu juga...

      Delete
  2. hehe, aku jadi pengen iku komen gara-gara baca yang ini dan teh manis. aku bukan kaum konservatif atau liberal atau apa ya, jadi ini murni pikiranku saja. Aku nggak bilang primitif itu baik dan modern itu buruk atau sebaliknya, tapi kalau menurut pribadiku, bukankah menjadi tetap 'primitf' dan menjadi 'modern' itu pilihan masing-masing individu? Contohnya begini, sekarang kan perkembangan kamera udah canggih, sampai HP aja megapixel lensanya udah ada yang setara pocket camera. Tapi, meski begitu ada juga yang masih tetap pakai SLR analog, atau bahkan kamera analog jadul. Bahkan jadi populer dan masuk ke hobi yang mahal. Kalau pandanganku ya macam itu, mereka yang masih suku-suku itu menanggapi modernisasi. ya mereka pasti tahu tentang baju model yang kita kenakan sekarang, tapi kok ya tetep milih pakai koteka (si suku asmat)?

    begitu. serius, setuju banget ma mas ejak. kamu harus jalan-jalan, kalau perlu masuk suku pedalaman. hehe

    ReplyDelete
  3. Duduk manis
    Baca
    Nunggu tulisan berikutnya(sangat)

    ReplyDelete